Mata Air Tampuro
14
Mei

Kecamatan Sanggar bisa dikatakan sebagai kecamatan terluas di Bima. Luasnya sekitar 72.000 Ha atau 16 porsen dari luas kabupaten Bima. Daerah ini adalah bekas kerajaan Sanggar yang pernah berjaya pada sekitar tahun 1500 sebelum letusan Tambora pada tahun 1815. Disamping dikenal sebagai daerah pegunungan dengan hasil madunya, Sangggar juga merupakan daerah pesisir dengan produksi ikan mencapai 20 ribu ton per tahun. Sedangkan nener mencapai 1 juta ekor per tahun. Untuk komoditi pertanian juga cukup besar berupa komditi padi, kedelai dan kacang tanah. Di Sanggar juga sangat cocok untuk pengembalaan ternak karena wilayah di sebelah baratnya hingga lereng Tambora terdapat padang Savana yang luas untuk pengembalaan.
Kembali ke Oi Tampuro, keyakinan masyarakat setempat tentang mata air ini cukup lama berkembang. Jika mandi dan meminum langsung air ini dari celah bebatuan adalah obat awet muda dan menyembuhkan segala penyakit. Disamping itu, masyarakat Sanggar berasumsi bahwa Mata Air Tampuro dan Mata Air Hodo di Kempo Dompu memiliki sumber yang sama yaitu dari bekas kerajaan Tambora yang telah tertimbun akibat letusan dahsyat Tambora sejak tahun 1815.
Ladang Garam Ladang Harapan
23
Mei

Tambak garam yang membentang sepanjang teluk Bima itu milik puluhan petani atau pengusaha. Menurut penuturan salah seorang petani Ahmad (65 thn), sebelum tahun 1950, lahan lahan tersebut telantar. Sementara sebagiannya dijadikan sawah tadah hujan.
Usaha garam di sekitar teluk Bima itu meliputi dua kecamatan, yakni Bolo dan Woha. Luas lahan garam sekitar 1.200 hektar dengan pemilik lahan sekitar 56 orang itu terdiri dari para pegawai negeri, warga sekitar dan juga pengusaha.Jumlah pekerja (buruh) di areal seluas 1.200 hektar itu sekitar 2.500 orang. Mereka adalah buruh kasar, datang dari sejumlah desa di Kabupaten Bima. Mereka mengumpulkan garam dari dalam petak, mengisi ke dalam karung, dan mengangkut ke jalan umum serta menaikkan ke truk pengangkut. Upah buruh garam berkisar Rp 900 hingga Rp 2.000 per karung garam. Dalam satu musim panen rata-rata para petani bisa mendapatkan 120 ton garam kasar. Harga garam cenderung fluktuatif antara Rp 7.000-Rp 8.000 per karung. Atau 1 ton menghasilkan Rp 7 juta-Rp 8 juta. Namun, pada sekitar bulan September-Oktober sempat turun sampai Rp 6.000 per karung (50 kilogram).
Melihat potensi garam tersebut, pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Bima menjalin kerjasama dengan The Micrononutrient Initative, organisasi nirlaba yang berbasis di Otawa, Kanada, membantu mengiodisaso garam baku milik petani dengan gratis. Organisasi itu diharapkan petani memanfaatkannya secara maksimal. Karena jika sudah diiodinisasi, nilai jual dan harga garam juga akan meningkat. Disamping itu, Pemerintah Kabupaten Bima juga selektif menerbitkan ijin penjualan garam keluar daerah. Garam yang tidak mengandung yodium tidak bloeh dikirim sesuai amanat Peraturan Daerah (Perda) Propinsi NTB Nomor 3 Tahun 2006. Produksi Garam Bima memiliki kualitas tinggi, namun terbentur karena tidak mengandung yodium. Garam Bima sudah sejak lama dikenal di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Buton, dan NTT.(Sumber Brosur Ekonomi Setda Kab. Bima, Kompas.com dan Sumbawa News.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar