Entri Populer

Rabu, 12 Oktober 2011

Jejak Islam Di Nanga Nur

14 Mei
Menjelajahi wilayah Nanga Nur memang cukup melelahkan. Tapi ketika mencapai puncaknya, spontanku lafazkan  Allahhu Akbar dan Subhanallah. Maha Besar dan Maha Suci Allah yang telah menciptakan pesona alam di selat Sape ini. Bukit Nanga Nur berjarak sekitar 3 km dari Tempat Pelelangan Ikan Sape-Bima. Sebelum mendaki, saya melewati 3 mata air bekas telaga yang oleh warga sekitar dikenal dengan Nanga Nur (Bima, Nanga= Telaga, Nur = Cahaya). Jadi Nanga Nur adalah Telaga Cahaya yang dibuat oleh para Mubaliq yang menyiarkan agama Islam di Bima. Karena pada zaman dulu Islam masuk di Bima melalui Sape pada sekitar Abad ke 16 dan 17.
Di atas bukit Nanga Nur inilah tempat peristirahatan terakhir dari dua ulama besar dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro yang diutus oleh Sultan Gowa pada waktu itu untuk menyiarkan agama Islam di Tanah Bima. Pintu masuk mereka adalah melalui Sape yaitu di Nanga Nur. Menurut penuturan Abidin penjaga Makam ini, dulu di Nanga Nur adalah Pelabuhan Alam yang terlindung dari angina musim dan badai. Karena letaknya sangat strategis dan landai di kaki bukit-bukit di sebelah barat Pelabuhan Sape sekarang.
Dalam Roman Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota yang ditulis Alan Malingi, bahwa para mubaliq itu berlabuh di Nanga Nur untuk berdakwah sambil berdagang. Pada perkembangan selanjutnya mereka mendirikan Masjid Pertama di kompleks kampong Sigi Sape. Lalu mereka menemui Putera Mahkota La Ka’i di tempat persembunyian di puncak Kalodu untuk menyampaikan surat dari Sultan Gowa dan beberapa cindera mata. Isi surat tersebut memberitahukan bahwa Raja Gowa beserta seluruh rakyatnya telah memeluk Islam dan mengajak Putera Mahkota La Ka’i untuk memeluk Islam.
Lalu La Ka’i bersama seluruh pengikutnya berikrar memeluk Islam dan mengangkat sumpah setia yang dikenal dengan sumpah Darah Daging dengan mengiris jari mereka dan meminum darah untuk memeluk Islam dan mengislamkan rakyat Bima. Tempat sumpah setia itu dikenal dengan Wadu Parapi ( Batu Parapi) yang saat ini berada di bendungan Parapi Desa Parangina kecamatan Sape ( Sayang kondisinya memprhatinkan dan tidak terawat). Setelah memeluk Islam La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir dan kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang. Setelah Wafat bergelar Rumata Ma Bata Wadu ( Tuanku yang bersumpah Di Atas Batu).
Merekam jejak Islam di Bima  terutama di wilayah Sape tentu tidak saja di Nanga Nur. Di Sape dan Lambu terdapat banyak peninggalan Islam seperti Wadu Sura atau Batu Bersurat di Desa Sari Kecamatan Sape yang bertuliskan huruf Arab Melayu dan saying sekali tidak bias terbaca karena termakan usia. Di kecamatan Lambu terdapat Temba Romba yaitu sebuah sumur yang konon dibuat oleh para mubaliq itu dengan tongkatnya dan sumur ini tetap mengalir sepanjang tahun.

Pesona Di Ujung Kalate

26 Mei
Pesisir utara Bima memang menyimpan pesona alam cukup banyak. Teluk-Teluk kecil di sepanjang Ambalawi dan Wera adalah lukisan keindahan alam yang tiada bandingannya. Menyusuri wilayah ini adalah petualangan yang mengasyikkan. Kicau burung, desir ombak, semilir angin  pantai nan lembut, dan keramahtamahan penduduknya adalah nyanyian dan sapaan alam penghibur jiwa.
Pantai Ujung Kalate yang membentang dari So Spui hingga So Fanda di dusun Ujung Kalate Desa Nipa kecamatan Ambalawi menawarkan pesona dan keindahan alam yang masih asri dan alami. Pantai ini terletak di kilometer dua hingga kilometer Empat di jalan lintas Nipa-Kolo. Hamparan pasir putih yang berpadu dengan sejuknya semilir angin dari pegunungan di sekitarnya adalah pilihan tepat bagi setiap orang untuk berwisata di tempat ini. So Spui ini dihuni oleh orang-orang dari dusun Ujung Kalate sekitar 20 KK. Demikian pula dengan di So Fanda yang berjarak lebih kurang dua kilometer dari So Spui ini juga dihuni oleh warga dari dusun Ujung Kalate. Mereka seluruhnya berprofesi sebagai nelayan disamping mengurus kebun dan tegalan di perbukitan di sekitar tempat tinggal mereka.
Kenapa dinamakan Ujung Kalate ?  Sejak zaman dulu tempat ini memang terdapat banyak tebing-tebing curam. Tebing dalam bahasa Bima berarti Kalate. Jadi Ujung Kalate adalah Ujung Tebing. Dan memang lokasi di sekitar tempat ini adalah tebing-tebing terjal yang langsung berhadapan dengan pantai dan laut.
Pantai ini dapat dilalui kendaraan baik Roda dua maupun Roda Empat. Pantai ini dapat ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Bima menuju kecamatan Ambalawi. Ketika memasuki desa Nipa, ada belokan yang menuju ke dusun Ujung Kalate dan jalur ini adalah jalur yang direncanakan akan menuju desa Kolo kecamatan AsaKota Kota Bima. Saat ini kondisi jalan sedang dalam tahap perbaikan. Warga Ujung Kalate sangat berharap agar jalan yang menghubungkan Nipa-Kolo ini segera dihotmik. Dengan demikian akan membuka keterisolasian selama ini. Prospek tempat-tempat wisata di sepanjang jalur ini menjanjikan harapan di masa depan jika akses jalan dapat terus dibenahi. Karena jalur ini akan menghubungkan berbagai obyek wisata lainnya di kota Bima seperti pantai So Ati, Bonto, Toro Londe, So Nggela dan Ule.
Pemerintah Daerah harus segera mengamankan areal-areal yang akan menjadi obyek wisata dari kepemilikan warga. Sebab di beberapa tempat sudah ada warga yang mengkalim pantai-pantai ini, seperti di Benteng Asa Kota. Oleh Karena itu, pemetaan terhadap asset dan obyek wisata sangat diperlukan untuk kepentingan daerah yang akan dapat menjadi salah satu sumber PAD Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar