Entri Populer

Rabu, 12 Oktober 2011

PANORAMA DI BIBIR SAMUDERA HINDIA


Bima bagian selatan memang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Di bibir samudera ini membentang pantai-pantai nan indah berpasir putih. Di sepanjang kecamatan Langgudu, Monta, hingga Parado pantai yang berpasir putih kerap ditemui. Di setiap hari minggu dan hari libur, banyak warga yang menikmati panorama pantai-pantai ini. Padahal lokasi pantai-pantai ini lumayan jauh dari pusat kota Bima. Wisatawan lokal biasa mengunjungi pantai Wane dan Rontu serta Pantai Nadi di Kecamatan Monta. Demikian pula di pantai Lere kecamatan Parado serta bentangan pantai pasir putih di kecamatan Langgudu terutama di tepi teluk Waworada.
Jarak tempuh menuju kelokasi pantai-pantai ini lebih kurang 2,5 jam.  Meski demikian, Pantai-pantai ini cukup bersih dengan air laut yang jernih dan buih ombak laksana intan dengan hamparan pasir putih merupakan suguhan yang akan di berikan oleh pantai-pantai ini kepada  wisatawan yang hadir wisatawan dan berkunjung.
Bagi yang hobi olahraga laut, banyak kegiatan yang dapat dilaksanakan seperti berenang, memancing, bersantai, dan kegiatan lainnya yang sekarang sedang mendunia “Surving dan Diving”. Hamparan pantai di bibir Samudera Hindia ini cukup potensial dan menjanjikan harapan. Perlu upaya yang sistimatis dan berkelanjutan untuk merawat, menata dan mengelola pantai-pantai ini menjadi obyek wisata andalan bagi kabupaten Bima.

Jejak Islam Di Nanga Nur

14 Mei
Menjelajahi wilayah Nanga Nur memang cukup melelahkan. Tapi ketika mencapai puncaknya, spontanku lafazkan  Allahhu Akbar dan Subhanallah. Maha Besar dan Maha Suci Allah yang telah menciptakan pesona alam di selat Sape ini. Bukit Nanga Nur berjarak sekitar 3 km dari Tempat Pelelangan Ikan Sape-Bima. Sebelum mendaki, saya melewati 3 mata air bekas telaga yang oleh warga sekitar dikenal dengan Nanga Nur (Bima, Nanga= Telaga, Nur = Cahaya). Jadi Nanga Nur adalah Telaga Cahaya yang dibuat oleh para Mubaliq yang menyiarkan agama Islam di Bima. Karena pada zaman dulu Islam masuk di Bima melalui Sape pada sekitar Abad ke 16 dan 17.

Di atas bukit Nanga Nur inilah tempat peristirahatan terakhir dari dua ulama besar dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Di Banda dan Datuk Di Tiro yang diutus oleh Sultan Gowa pada waktu itu untuk menyiarkan agama Islam di Tanah Bima. Pintu masuk mereka adalah melalui Sape yaitu di Nanga Nur. Menurut penuturan Abidin penjaga Makam ini, dulu di Nanga Nur adalah Pelabuhan Alam yang terlindung dari angina musim dan badai. Karena letaknya sangat strategis dan landai di kaki bukit-bukit di sebelah barat Pelabuhan Sape sekarang.
Dalam Roman Sejarah Kembalinya Sang Putera Mahkota yang ditulis Alan Malingi, bahwa para mubaliq itu berlabuh di Nanga Nur untuk berdakwah sambil berdagang. Pada perkembangan selanjutnya mereka mendirikan Masjid Pertama di kompleks kampong Sigi Sape. Lalu mereka menemui Putera Mahkota La Ka’i di tempat persembunyian di puncak Kalodu untuk menyampaikan surat dari Sultan Gowa dan beberapa cindera mata. Isi surat tersebut memberitahukan bahwa Raja Gowa beserta seluruh rakyatnya telah memeluk Islam dan mengajak Putera Mahkota La Ka’i untuk memeluk Islam.
Lalu La Ka’i bersama seluruh pengikutnya berikrar memeluk Islam dan mengangkat sumpah setia yang dikenal dengan sumpah Darah Daging dengan mengiris jari mereka dan meminum darah untuk memeluk Islam dan mengislamkan rakyat Bima. Tempat sumpah setia itu dikenal dengan Wadu Parapi ( Batu Parapi) yang saat ini berada di bendungan Parapi Desa Parangina kecamatan Sape ( Sayang kondisinya memprhatinkan dan tidak terawat). Setelah memeluk Islam La Ka’i berganti nama menjadi Abdul Kahir dan kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang. Setelah Wafat bergelar Rumata Ma Bata Wadu ( Tuanku yang bersumpah Di Atas Batu).
Merekam jejak Islam di Bima  terutama di wilayah Sape tentu tidak saja di Nanga Nur. Di Sape dan Lambu terdapat banyak peninggalan Islam seperti Wadu Sura atau Batu Bersurat di Desa Sari Kecamatan Sape yang bertuliskan huruf Arab Melayu dan saying sekali tidak bias terbaca karena termakan usia. Di kecamatan Lambu terdapat Temba Romba yaitu sebuah sumur yang konon dibuat oleh para mubaliq itu dengan tongkatnya dan sumur ini tetap mengalir sepanjang tahun.

Pesona Di Ujung Kalate

26 Mei
Pesisir utara Bima memang menyimpan pesona alam cukup banyak. Teluk-Teluk kecil di sepanjang Ambalawi dan Wera adalah lukisan keindahan alam yang tiada bandingannya. Menyusuri wilayah ini adalah petualangan yang mengasyikkan. Kicau burung, desir ombak, semilir angin  pantai nan lembut, dan keramahtamahan penduduknya adalah nyanyian dan sapaan alam penghibur jiwa.

Pantai Ujung Kalate yang membentang dari So Spui hingga So Fanda di dusun Ujung Kalate Desa Nipa kecamatan Ambalawi menawarkan pesona dan keindahan alam yang masih asri dan alami. Pantai ini terletak di kilometer dua hingga kilometer Empat di jalan lintas Nipa-Kolo. Hamparan pasir putih yang berpadu dengan sejuknya semilir angin dari pegunungan di sekitarnya adalah pilihan tepat bagi setiap orang untuk berwisata di tempat ini. So Spui ini dihuni oleh orang-orang dari dusun Ujung Kalate sekitar 20 KK. Demikian pula dengan di So Fanda yang berjarak lebih kurang dua kilometer dari So Spui ini juga dihuni oleh warga dari dusun Ujung Kalate. Mereka seluruhnya berprofesi sebagai nelayan disamping mengurus kebun dan tegalan di perbukitan di sekitar tempat tinggal mereka.
Kenapa dinamakan Ujung Kalate ?  Sejak zaman dulu tempat ini memang terdapat banyak tebing-tebing curam. Tebing dalam bahasa Bima berarti Kalate. Jadi Ujung Kalate adalah Ujung Tebing. Dan memang lokasi di sekitar tempat ini adalah tebing-tebing terjal yang langsung berhadapan dengan pantai dan laut.
Pantai ini dapat dilalui kendaraan baik Roda dua maupun Roda Empat. Pantai ini dapat ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Bima menuju kecamatan Ambalawi. Ketika memasuki desa Nipa, ada belokan yang menuju ke dusun Ujung Kalate dan jalur ini adalah jalur yang direncanakan akan menuju desa Kolo kecamatan AsaKota Kota Bima. Saat ini kondisi jalan sedang dalam tahap perbaikan. Warga Ujung Kalate sangat berharap agar jalan yang menghubungkan Nipa-Kolo ini segera dihotmik. Dengan demikian akan membuka keterisolasian selama ini. Prospek tempat-tempat wisata di sepanjang jalur ini menjanjikan harapan di masa depan jika akses jalan dapat terus dibenahi. Karena jalur ini akan menghubungkan berbagai obyek wisata lainnya di kota Bima seperti pantai So Ati, Bonto, Toro Londe, So Nggela dan Ule.
Pemerintah Daerah harus segera mengamankan areal-areal yang akan menjadi obyek wisata dari kepemilikan warga. Sebab di beberapa tempat sudah ada warga yang mengkalim pantai-pantai ini, seperti di Benteng Asa Kota. Oleh Karena itu, pemetaan terhadap asset dan obyek wisata sangat diperlukan untuk kepentingan daerah yang akan dapat menjadi salah satu sumber PAD Daerah.

Mata Air Tampuro

14 Mei
Potensi wisata yang satu ini merupakan potensi wisata yang sangat unik dan langka di temukan di wilayah nusantara. Mata air Oi Tampuro merupakan obyek wisata sumber mata air yang sangat jernih dan debit air yang cukup besar, sehingga memebrikan nuansa yang berbeda pada obyek wisata ini bagaikan muara di tengah padang gersang yang mampu memberikan kasejukan dan kesegaran alami. Mata air  Tampuro jaraknya kurang lebih 100 km dari Ibukota Kabupaten Bima dan 15 km dari Ibukota Kecamatan Sanggar, Lokasi yang sangat strategis dan dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor baik roda 2 (dua) maupun roda 4 (empat) bdengan jarak tempuh kurang lebih 3 jam.

Kecamatan Sanggar bisa dikatakan sebagai kecamatan terluas di Bima. Luasnya sekitar 72.000 Ha atau 16 porsen dari luas kabupaten Bima. Daerah ini adalah bekas kerajaan Sanggar yang pernah berjaya pada sekitar tahun 1500 sebelum letusan Tambora pada tahun 1815. Disamping dikenal sebagai daerah pegunungan dengan hasil madunya, Sangggar juga merupakan daerah pesisir dengan produksi ikan mencapai 20 ribu ton per tahun. Sedangkan nener mencapai 1 juta ekor per tahun. Untuk komoditi pertanian juga cukup besar berupa komditi padi, kedelai dan kacang tanah. Di Sanggar juga sangat cocok untuk pengembalaan ternak karena wilayah di sebelah baratnya hingga lereng Tambora terdapat padang Savana yang luas untuk pengembalaan.
Kembali ke Oi Tampuro, keyakinan masyarakat setempat tentang mata air ini cukup lama berkembang. Jika mandi dan meminum langsung air ini dari celah bebatuan adalah obat awet muda dan menyembuhkan segala penyakit. Disamping itu, masyarakat Sanggar berasumsi bahwa Mata Air Tampuro dan Mata Air Hodo di Kempo Dompu memiliki sumber yang sama yaitu dari bekas kerajaan Tambora yang telah tertimbun akibat letusan dahsyat Tambora sejak tahun 1815.

Ladang Garam Ladang Harapan

23 Mei
Bima juga dikenal dengan daerah penghasil Garam berkualitas tinggi disamping daerah Pamekasan Madura.  Ribuan Hektar lahan Garam yang bergandengan dengan tambak-tambak bandeng adalah pemandangan yang menarik ketika kita melewati wilayah Kabupaten Bima mulai dari arah Sondosia hingga lewa Mori. Lahan-lahan ini sejak tahun 1950-an  sudah dimanfaatkan untuk usaha garam dan bandeng.

Tambak garam yang membentang sepanjang teluk Bima itu milik puluhan petani atau pengusaha. Menurut penuturan salah seorang petani Ahmad (65 thn), sebelum tahun 1950, lahan lahan tersebut telantar. Sementara sebagiannya dijadikan sawah tadah hujan.
Usaha garam di sekitar teluk Bima itu  meliputi dua kecamatan, yakni Bolo  dan Woha. Luas lahan garam sekitar 1.200 hektar dengan pemilik lahan sekitar 56 orang itu terdiri dari para pegawai negeri, warga sekitar  dan  juga pengusaha.Jumlah pekerja (buruh) di areal seluas 1.200 hektar itu sekitar 2.500 orang. Mereka adalah buruh kasar, datang dari sejumlah desa di Kabupaten Bima. Mereka mengumpulkan garam dari dalam petak, mengisi ke dalam karung, dan mengangkut ke jalan umum serta menaikkan ke truk pengangkut. Upah buruh garam berkisar Rp 900 hingga Rp 2.000 per karung garam. Dalam satu musim panen rata-rata para petani  bisa mendapatkan 120 ton garam kasar. Harga garam cenderung fluktuatif antara  Rp 7.000-Rp 8.000 per karung. Atau 1 ton menghasilkan Rp 7 juta-Rp 8 juta. Namun, pada sekitar bulan September-Oktober sempat turun sampai Rp 6.000 per karung (50 kilogram).
Melihat potensi garam tersebut, pada tahun 2009 Pemerintah Kabupaten Bima menjalin kerjasama dengan The Micrononutrient Initative, organisasi nirlaba yang berbasis di Otawa, Kanada, membantu mengiodisaso garam baku milik petani dengan gratis. Organisasi itu  diharapkan petani memanfaatkannya  secara maksimal. Karena jika sudah diiodinisasi, nilai jual dan harga garam  juga akan meningkat.  Disamping itu, Pemerintah Kabupaten Bima juga selektif menerbitkan ijin penjualan garam keluar daerah. Garam yang tidak mengandung yodium tidak bloeh dikirim sesuai amanat Peraturan Daerah (Perda) Propinsi NTB Nomor 3 Tahun 2006.    Produksi Garam Bima  memiliki kualitas tinggi, namun terbentur karena tidak mengandung yodium. Garam Bima sudah sejak lama dikenal di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Buton, dan NTT.(Sumber Brosur Ekonomi Setda Kab. Bima, Kompas.com dan Sumbawa News.com)

Kolo “ Importir” Barang Singapura

13 Mei
Entah sejak kapan, masyarakat kelurahan Kolo ini menjalin hubungan dengan orang-orang Singapura. Menurut penuturan Ibrahim Ama La (70 thn), pada zaman dulu terutama ketika menjelang Idhul Fitri ada kapal asing yang berlabu di tengah laut. Lalu nelayan dan masyarakat Kolo berbondong-bondong ke kapal itu untuk membeli barang-barang berupa pakaian bekas dengan harga murah yaitu sekitar Rp.2.500 hingga Rp.5.000. Jalinan persaudaraan it uterus berlanjut dari tahun ke tahun. Pada perkembangan selanjutnya, kapal-kapal Singapura ini menawarkan paket dalam partai besar dalam bentuk satu karung pakaian bekas yang dijual dengan kisaran harga antara Rp.150.000 hingga Rp.500.000. Tapi rata-rata harganya pada saat itu sebesar Rp.175.000 per karung.

Namun sejak sepuluh tahun terakhir sudah banyak pemilik modal di Kolo yang langsung menuju Singapura menggunakan kapal-kapal layer kecil. Disana mereka menjalin hubungan dengan para Toke yang menjadi mitra bisnis. Dan sekarang bukan hanya pakaian bekas yang dibawa para pedagang Kolo dari Singapura tapi juga barang-barang elektronik sperti TV, Radio, Kulkas, AC,Komputer, Laptop, Handphone dan produk elektronik lainnya.
Masuknya barang-barang Singapura membuat kelurahan ini sagat ramai dikunjungi oleh warga di luar Kolo. Kerahan Kolo terletak di pinggir perairan Selat Bima merupakan pintu masuk bagi kapal-kapal yang umumnya berlayar mengarungi Laut Flores. Kolo masuk dalam wilayah kecamatan Asa Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 3000 jiwa. Luas wilayah kelurahan ini adalah 9,25 km dan berjarak sekitar 15 Kilometer dari pusat Kota Raba di Kota Bima. Mata pencaharian warga sebagian besar adalah nelayan, petani dan pedagang terutama pedagang barang-barang bekas dari Singapura.

TORO WAMBA

12 Mei
Toro Wamba merupakan salah satu Obyek Wisata yang berada di Kecamatan Sape tepatnya di Desa Lamere, dan berjarak 2 km dari pemukiman masyarakat lokal, dengan jarak lebih kurang 6 km dari Ibu Kota Kecamatan Sape. Obyek ini dapat dijangkau oleh kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua.

Toro Wamba menyajikan khas sajian alam daerah tropis yaitu pantai dengan air yang jernih dengan hamparan pasir putih, kemudian berbagai macam aktivitas yang dapat di laksanakan oleh wisatawan seperti berenang, snorkling, diving, memancing, berjemur serta bersantai. Toro Wamba juga menyediakan akomodasi (penginapan) yang berartistik lokal yang dapat dijangkau serta dikelola langsung oleh masyarakat setempat.
Seharusnya Toro Wamba ini ditata untuk dijadikan obyek wisata andalan bagi daerah Kabupaten Bima. Karena obyek ini akan dapat mendatangkan sumber Pemasukan Asli Daerah.

Taman Ria Di Jantung Kota

22 Mei
Entah sejak kapan warga Bima menyebut tempat ini dengan Taman Ria. Tapi yang jelas tempat ini adalah sebuah taman yang Asri dan sejuk di jantung Kota Bima.Pohon-pohon besar di sekeliling tempat ini diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Ada juga beberapa yang sudah tumbang karena usia dan angin kencang.

Menurut penuturan H. Abubakar Ismail salah seorang budayawan dan sesepuh masyarakat Bima, bahwa di tempat ini ribuan tahun silam pernah menjadi pelabuhan Bima karena di atas bukit Gunung Dua ada sebuah batu besar yang dipercayai sebagai jelmaan seorang perempuan yang menunggu kedatangan suaminya dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi. Dengan demikian, antara Gunung Dua dengan tempat ini memiliki keterikatan sejarah.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa di tempat ini juga ada sebuah pohon Mangga Besar yang disebut dengan Fo’o Dae La Kosa. Dae La Kosa adalah nama salah seorang yang diduga menjadi pemilik kebun di sekitar Gunung Dua. Dae La Kosa adalah seorang guru ngaji yang sangat baik dan jujur. Namun pada suatu saat dia sengaja dibunuh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, tempat ini juga pernah menjadi pos pengintaian dari Para Pemuda Pejuang Bima dalam merebut kekuasaan dari tangan Belanda dan Jepang. Disinilah tempat para pejuang merebut senjata dan menawan orang-orang Belanda. Pada perkembangan selanjutnya  tempat ini pernah menjadi Taman Makam Pahlawan sebelum dipindahkan ke Kelurahan Dara (Puskesmas Paruga Sekarang) dan selanjutnya dipindahkan ke Paman Makam Palibelo sekarang.
Hampir semua orang Bima mempercayai bahwa tempat ini sangat angker. Banyak penampakan dan peristiwa aneh yang terjadi disini. Banyak kecelakaan maut juga terjadi di sekitar tikungan Taman Ria ini. Menurut penuturan orang-orang yang melihat mahluk halus di sekitar tempat ini bahwa penghuninya adalah perempuan cantik yang selalu menggoda para pengendara dan sering sekali minta tumpangan.
Terlepas dari cerita dan sejarah Taman Ria ini. Tempat ini punya potensi besar untuk dikembangkan menjadi Taman sebagai paru-paru Kota. Kesan Angkernya dapat ditutupi dengan penataan dan pengelolaan Taman Yang Profesional. Banyak fasilitas yang bisa dibangun dan dibuat di tempat ini seperti tempat-tempat duduk, tempat bermain, tempat pementasan Budaya,  kedai-kedai dan warung-warung kecil yang menyiapkan minuman dan masakan khas Bima.Lampu dan penerangan di sekitar lokasi ini sangat dibutuhkan agar tidak gelap dan terkesan angker. Saya sangat gembira membaca berita salah satu media lokal Bima bahwa tempat ini akan ditata untuk Taman Kota.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar